Rabu, 30 Juli 2008

Nilai Sociolinguistics

Auwibi Aqdamana (C)
Syaifuddin (C)
Netti Herawati (A)
Anwar Insan S. (A)
Muhidin (A)
Nina Puji A (B)
Ida Khairiah (B)
Dessy Ika Wati (B)
Siti Choti’ah (B)
Desty Fitri L (B)
Lilih Hamiwiti (C)
Eka Terina (B)
Dewi Sari (A)
D. Iim I (B)
Nurali (A)
Hilda NH (A)
Amsyah K S. (C)
Fuad Satria (B)
M. Fajar R. (C)
Abdur Rahman (A)
Rizal Azman (A)
Eryandi (A)
Rodhi Irwanto (B)

Nilai Phonology

Auwibi Aqdamana (D)
Dian Pertiwi (-)
M. Jujun S (D)
Berry R. F. S. (D)
Rifal Apriadi (D)
Siti Musarofah (C)
Siti Khotijah (B)
Iin siti N (A)
Nurul Fitriana (B)
Nurhalim (C)
Ropikah (B)
Khamulan Dwi PN (C)
Emi Purniati (C)
Dina Rhapsody (C)
Erhnik Nurul P. (C)
Dena Riani H (B)
Nurlinda F. (C)
Sri Suhartini (C)
Restiana Rahayu (D)
Cahaya Siregar (D)
Nurhayati (C)
Nurhasanah (A)
Siti Rohmah (A)
Siti Maemanah (B)
Megawati A. (D)
Neneng A S. (-)
Tuti Hermawati (B)
Darmawati (B)
Susilowati (B)

Kamis, 17 Juli 2008

UAS sosling Belum Diterima

Nama-nama berikut ini adalah mahasiswa yang belum mengumpulkan tugas UAS Sosiolinguistik:

1. Eryandi
2. M. Fajar R.
3. Nurali
4. Dewi sari

Jumat, 27 Juni 2008

Seminar Bandung

ANALISIS PROTOKOL: SEBUAH JALAN MEMAHAMI STRATEGI MEMBACA[1]

I m e l d a[2]

Abstract

This study investigated some aspects of process of reading of English by Indonesian Learners, in particular the role of reading strategies in learners’ attempts to understand a text.

The subjects in this research were eight second-year high school students in the natural science stream at SMAN 10 in Bandar Lampung. They were classified as either good or poor readers.

Good and poor readers deal with texts in different ways. The objectives were (1) to identify what kind of problems the two groups faced and (2) to identify what reading strategies they used.

Students were presented with an English and asked to verbalize their thoughts as they tried to understand it – the so called ‘think aloud’ method commonly used in psychology. Their think-alouds were recorded on tape and transcribed, and then coded for analysis.

The problems faced by good and poor reader were similar in nature. However, poor readers had more problems than good readers. Their reading was slower and their comprehension was impeded by problems with lexis and some grammatical features.

The strategies used by the two groups were similar in many respects. In all, good readers used ten kinds of strategies and poor readers used eight kinds of strategies. An analysis of the types of strategies used, however, suggests that good readers probably use a combination of bottom-up and top-down approaches (an interactive approach), while poor readers tend to rely more on a bottom-up approach.



[1] Makalah ini diangkat dari tesis master penulis di Universitas Indonesia pada tahun 2005. Patut rasanya bila penulis kembali berterima kasih kepada dosen-dosen (Abdul Fatah Lauder, Rahayu S. Hidayat, Bulayat C. Sembiring dan Totok Suhardiyanto) yang telah memberikan saran dan kritik. Tidak lupa pula terima kasih saya haturkan kepada Ujang Suparman (FKIP-UNILA) yang menginspirasi penulis untuk meneliti strategi membaca.

[2] Penulis bekerja sebagai peneliti di Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan, LIPI.

Jl. Jendral Gatot Soebroto 10, Jakarta Selatan, e-mail: imelda@lipi.go.id.

Rabu, 28 Mei 2008

PEREMPUAN vs GENDER

Gender Versus Kodrat
Venny Damanik*)
"Perempuan tidak usah sekolah tinggi-tinggi, karena pada akhirnya akan masuk ke dapur juga. Cis! Laki-laki koq menangis, gak malu, seperti perempuan saja! Sudah kodratnya merawat anak adalah pekerjaan perempuan. Perempuan tidak boleh menjadi pemimpin. Perempuan lebih lembut dari laki-laki. Mainan boneka untuk anak perempuan saja, sementara mainan pesawat terbang hanya untuk anak laki-laki." Kalimat-kalimat tersebut di atas sangat mencerminkan pemahaman kita tentang apakah yang merupakan gender dan kodrat.
Tulisan ini hanyalah bagian kulit dari sekian banyaknya tulisan hebat dan berbobot yang mengulas tentang gender, namun kiranya tujuannya dapat terwujud yaitu turut menjadi kontribusi untuk mengoreksi konsep yang menyimpang tentang perbedaan antara laki-laki dan perempuan.
I. Konsep Kodrat
Kodrat merupakan anugerah dari Tuhan yaitu penciptaan Tuhan atas laki-laki dan perempuan. Tuhan menciptakan laki-laki mempunyai penis sementara perempuan diciptakan-Nya mempunyai vagina yang memungkinkannya mengalami menstruasi dan dapat melahirkan. Hanya itulah yang membedakan laki-laki dan perempuan. Maka sesuai dengan kodratnya perlakuan terhadap laki-laki dan perempuan memang harus beda karena Tuhan menciptakan mereka berbeda. Sebagai contoh, bagi beberapa perempuan, mungkin karena faktor kurang gizi atau ada kelainan pada alat reproduksi, tak jarang mengalami masalah bila mengalami menstruasi, dengan demikian adalah patut bila Undang-Undang Ketenagakerjaan memberikan hak bagi perempuan untuk mendapatkan cuti haid pada hari pertama dan kedua menstruasi. Perempuan yang sedang menyusui mempunyai hak untuk menyusui bayinya di tempat kerja, dan sejatinya tempat kerjanya wajib menyediakan child care atau tempat untuk menyusui. Perempuan yang sedang hamil tidak diperbolehkan bekerja di tempat yang tidak nyaman dan berbahaya bagi janin seperti di tempat bahan kimia beracun, lembur sampai pagi, hanya duduk atau berdiri selama jam kerja tanpa pergerakan yang leluasa.
II. Konsep Gender
Gender merupakan perbedaan laki-laki dan perempuan oleh masyarakat dimana mereka hidup. Bila sesuai kodratnya laki-laki dan perempuan adalah sama di seluruh dunia, maka gender berbeda berdasarkan masyarakat, budaya bahkan waktu. Masyarakat memberikan peran dan sifat berbeda kepada laki-laki dan perempuan sejak mereka lahir. Sebagai contoh, pada zaman nenek moyang kita, laki-laki pergi berburu sementara perempuan di dalam rumah menjaga anak. Di dalam sebuah keluarga, bila ada kelahiran, untuk menyambut anak laki-laki, yang dipotong adalah kerbau; tetapi bila yang lahir adalah perempuan, maka yang dipotong cukup kerbau pendek saja. Demikianlah setiap masyarakat merubah laki-laki dan perempuan menjadi jantan dan betina dan menjadi maskulin dan feminin dengan perilaku, peran, tanggung jawab, hak dan pengharapan yang berbeda (Bhasin, 2000; Hussein, 2003).
Gender juga berbeda di berbagai belahan dunia ini. Di beberapa tempat, tidak menjadi masalah bila perempuan yang mencari nafkah (bread winner), jadi peran domestik seperti mengurus dapur dan anak, diambil alih oleh laki-laki. Namun di negara seperti Indonesia misalnya karena mungkin masih dipengaruhi latar belakang sosial yang patriarkal, maka laki-laki yang masuk dapur dan menjaga anak dianggap sangat aneh dan bahkan ada yang mengatasnamakan Tuhan mengklaim bahwa laki-laki yang demikian telah melanggar kodratnya sebagai laki-laki. Di Jerman misalnya, masyarakat tidak lagi mempersoalkan kepemimpinan Angela Merkel hanya karena dia perempuan tetapi lebih pada pertanggungjawaban tugasnya sebagai seorang pemimpin. Sebaliknya berbeda dengan di Indonesia, banyak kelompok yang membawa-bawa nama Tuhan mengatakan bahwa perempuan tidak boleh menjadi presiden.
Selain berbeda di berbagai belahan dunia, gender juga berbeda menurut waktu. Pada zaman kakek nenek kita, perempuan yang memakai celana panjang atau pendek, dianggap tidak lazim dan bahkan tidak sopan, tetapi sekarang hal tersebut tidak lagi menjadi persoalan. Indonesia pernah mendapat kunjungan pemimpin negara Sudan dan kalau tidak salah, sang pemimpin yang adalah laki-laki memakai rok dalam kunjungan resminya itu. Bangsawan laki-laki di negara Skotlandia, dalam upacara tertentu mereka memakai rok juga. Sementara di Indonesia, pernah juga sih, ada grup band Sheila on Seven memakai rok, tetapi itu hanyalah tuntutan skenario; namun belum pernah di Indonesia kita menyaksikan laki-laki memakai rok. Kalau dulu, beberapa jenis musik dan olah raga seperti sumo, gulat, angkat barbel dan bola kaki hanyalah merupakan domain laki-laki, namun sekarang kita telah menemukan tim sepak bola perempuan dari Korea Utara sebagai club sepak bola terbaik di dunia misalnya, juga perempuan berotot seperti Ade Ray dimana dulu mungkin hal tersebut tidak lazim. Demikianlah gender merupakan ciptaan atau buatan manusia yang berbeda di berbagai belahan dunia ini dan dapat berubah.
III. Koreksi atas Konsep "Bias Gender"
Oleh karena gender adalah buatan manusia, maka gender merupakan penyimpangan dari kodrat. Gender sering memaksa apa yang sesungguhnya bukan kodrat menjadi kodrat. Akhirnya, hal ini sering menggiring kita pada ketidakadilan. Pada masyarakat yang sangat patriarkal (memperlakukan laki-laki lebih istimewa dari perempuan), gender terlalu sering memperlakukan perempuan sangat tidak adil. Dalam buku "Around the World in 80 Days" Mr. Fogg menyelamatkan seorang perempuan India yang akan dibakar beserta mayat suaminya. Pada waktu itu, perempuan harus dibakar beserta mayat suaminya kalau suaminya meninggal terlebih dahulu namun tidak demikian sebaliknya. Sampai saat inipun di India, perempuan yang akan menikahlah yang akan membayar mahar kepada keluarga laki-laki. Bila mahar tersebut tidak sesuai dengan permintaan keluarga laki-laki, maka seumur hidup si perempuan akan menjadi hinaan bagi keluarga si laki-laki. Hal tersebut dibenarkan menurut adat. Di salah satu negara di Afrika, alat genital perempuan harus dipotong dengan alasan supaya tidak jadi tukang kawin dan tidak kegenitan. Banyak sekali di berbagai belahan dunia ini yang data statistik anak perempuan tidak bersekolah lebih tinggi dari anak laki-laki karena alasan budaya bahwa laki-laki lebih penting dari perempuan. Beberapa kelompok masyarakat membawa-bawa nama Tuhan dengan mengatakan bahwa perempuan tidak boleh menjadi presiden. Mungkin masih segar dalam ingatan kita pada Pemilu Pilpres 2004 terjadi upaya pencekalan terhadap Megawati dengan membawa isu perempuan tidak boleh menjadi presiden. Di dalam sebuah masyarakat, diciptakan bahwa perempuan harus lemah lembut, gemulai, penurut, kalau tidur tidak boleh membelakangi suami, bagiannya di dapur dan lain sebagainya. Perempuan juga diharamkan untuk agresif. Jika menyimpang dari hal-hal tersebut, maka si perempuan dianggap telah melanggar kodratnya sebagai perempuan, demikian sebaliknya jika laki-laki sedikit feminin, maka dia dianggap melawan kodrat, jadi gengsi dan malu besar jika laki-laki menangis misalnya. Itu pulalah salah satu sebab mengapa laki-laki lebih berumur pendek karena ketika mereka berduka atau bersedih, lingkungan sosial secara implisit melarang mereka untuk menangis, padahal menangis adalah baik untuk kesehatan tatkala kita bersedih atau berduka.
Demikianlah gender sesungguhnya merupakan pembiasan kodrat laki-laki dan perempuan. Kita sering memakai istilah "bias gender" atau penyimpangan gender dengan maksud menunjuk pada ketidakadilan gender, namun sejatinya gender itu sendirilah bias atau ketidakadilan itu. Jadi misalnya, jika ada seseorang berkata, "salah laki-laki yang mempunyai istri memasak alias masuk dapur" maka itu tidaklah bias gender tetapi gender yaitu ketidakadilan itu sendiri.
IV. Hegemoni Gender
Di atas telah dikemukakan bahwa masyarakat sudah membedakan laki-laki dan perempuan sejak mereka lahir. Hal tersebut merupakan hegemoni yaitu sudah dicetakkan di kepala kita bahwa misalnya perempuan harus lemah lembut dan gemulai sehingga kita menganggap bahwa perempuan yang tidak gemulai nan lembut melawan kodratnya sebagai perempuan. Hegemoni gender tersebut membuat kita sadar bahwa gender itulah kodrat. Padahal, gender bukanlah kodrat. Gender berlawanan dengan kodrat. Sejatinya kita harus menentang apa yang merupakan gender namun sebaliknya kita sering menganggap gender adalah kodrat sehingga kita membenarkannya.
*) Penulis adalah peminat isu gender

Selasa, 27 Mei 2008

BAB 7 GELOMBANG TERAKHIR

Anderson, Ben. 1995. Imagined Community (translated version). Yogyakarta.

Negara-negara baru pascaperang Dunia II punya watak tersendiri ... . Salah satu cara untuk menggarisbawahi fakta bahwa karakter negara-negara baru ini sejatinya merupakan anak-cucu watak-watak pendahulunya adalah, kita ingat-ingat kembali bahwa sejumlah (sangat) besar bangsa-bangsa (non Eropa) itu memiliki bahasa-bahasa resmi negara yang mengeropa.

Pada gilirannya, adonan yang terdiri dari nasionalisme kerakyatan dengan nasionalisme resmi ini merupakan hasil berbagai penyimpangan (anomali) yang dicipta oleh imperialisme Eropa: batas-batas daerah jajahan yang ditetapkan sewenang-wenang, serta kaum terpelajar dwibahasa yang menjulang gelisah di atas populasi-populaso n\monoglot yang beraneka. Jadi, kita bisa memotret banyak bangsa 'baru' ini sebagai proyek-proyek, yang pencapaiannya masih sedang diupayakan (belum tergapai), toh proyek-proyek ini lebih dicerna dalam semangat Mazzini dan bukannya Uvarov.

Kala kita renungkan asal-muasal 'nasionalisme kolonial' terkini, yang langsung mencolok mata kita adalah satu kemiripan sentral dengan nasionalisme-nasionalisme kolonial terdahulu: isomorfisme atau peleburan antara tiap bentang kewilayahan nasionalisme itu, dengan unit administratif kolonial yang telah lebih dahulu ada. kesamaan ini bukan kebetulan: jelas mnculnya berkaitan dengan geografi semua peziarah kolonial. Perbedaannya terletak pada fakta bahwa lekuk-lekuk

Rabu, 21 Mei 2008

NILAI SOSIOLINGUISTIK

Berikut daftar nilai kuliah Sosiolinguistik.

1. Auwibi Aqdamana (59)
2. Syaifuddin (77)
3. Netti Herawati (73)
4. Anwar Insan S. (74)
5. Muhidin (75)
6. Nina Puji Ariyani (70)
7. Ida Khairiah (75)
8. Dessy Ika Wati (60)
9. Siti Choti’ah (84)
10. Desty Fitri Lestari (60)
11. Lilih Hamiwiti (60)
12. Eka Terina (76)
13. Dewi Sari (85)
14. D. Iim Istikomah (76)
15. Nurali (86)
16. Hilda NH (81)
17. Amsyah Kartika S. (70)
18. Fuad Satria (73)
19. M. Fajar R. (70)
20. Abdur Rahman (77)
21. Rizal Azman (74)
22. Eryandi (73)
23. Rodhi Irwanto (72)

Berikut ini empat (4) tulisan yang harus diperbaiki dan akan dipublikasikan.

1. Perbedaan Bahasa antara Laki-laki dan Perempuan (NURALI)
2. Register (Dewisari)
3. Register, style dan Ideology (Siti Choti'ah)
4. aksen dan Dialek (Hilda Nurul Huda)

Selasa, 20 Mei 2008

NILAI PHONOLOGY

Berikut nama-nama siswa dan nilai mata kuliah Phonology.

1. Auwibi Aqdamana (52)
2. Dian Pertiwi (BL)
3. M. Jujun Sirojudin (30)
4. Berry R. F. S. (33)
5. Rifal Apriadi (50)
6. Siti Musarofah (61.5)
7. Siti Khotijah (80)
8. Iin siti Nurhanifah (83)
9. Nurul Fitriana (81)
10. Nurhalim (53)
11. Ropikah (85)
12. Khamulan Dwi PN (63.5)
13. Emi Purniati (67.5)
14. Dina Rhapsody (55)
15. Erhnik Nurul Pharamita (73)
16. Dena Riani Harlan (74)
17. Nurlinda F. (68)
18. Sri Suhartini (62.5)
19. Mulia Heriawanti (BL)
20. Restiana Rahayu (34)
21. Cahaya Siregar (35)
22. Nurhayati (70)
23. Nurhasanah (82)
24. Siti Rohmah (83)
25. Siti Maemanah (66)
26. Megawati A. (60)
27. Neneng Agustini S. (BL)
28. Tuti Hermawati (60.5)
29. Darmawati (65)
30. Susilowati (72)
31. Masnur (BL)

Selasa, 06 Mei 2008

Learning Strategies

Abstract

This study investigated some aspects of the process of reading of English by Indonesia learner, in particular the role of reading strategies in learners' attempts to understand a text.

The subjects in the research were eight second-year high school students in the natural science stream at SMAN 10 in Bandar Lampung. They were classified as either good or poor readers.

Good and poor readers deal with texts in different ways. The objectives of research were (1) to identify what kind of problems the two groups faced and (2) to identify what reading strategies they used.

Students were presented with an English text and asked to verbalized their thoughts as they tried to understand it -- the so-called 'think-aloud' method commonly used in psychology. Their think-alouds were recorded on tape and transcribed, and then coded for analysis.

The problems faced by good and poor readers were similar in nature. However, poor readers had more problems than good readers. Their reading was slower and their comprehension was impeded by problems with lexis and some grammatical features.

The strategies used by the two groups were similar in many respects. In all, good readers used ten kinds of strategies and poor readers used eight kinds of strategies. An analysis of the types of strategies used, however, suggests that good readers probably use a combination of bottom -up and top-down approaches (an interactive approach), while poor readers tend more on a bottom-up approach.

Kamis, 24 April 2008

BAHASA DAN GENDER

Budianta, Melani. 2002. Pendekatan Feminis Terhadap Wacana: Sebuah Pengantar. dalam Analisis Wacana: Dari Linguistik Sampai Dekonstruksi. Yogyakarta: Kanal.

SEMUA KUTIPAN LANGSUNG!

Secara umum gender dapat didefinisikan sebagai pembedaan-pembedaan yang bersifat sosial yang dikenakan atas perbedaan-perbedaan biologis yang ada antara jenis-jenis kelamin. Dalam konsep ini jelas dibedakan antara yang bersifat alami, yakni pembedaan biologis, dan yang bersifat sosial dan budaya. Bahwa wanita mempunyai rahim dan laki-laki mempunyai penis, adalah suatu kenyataan biologis, tetapi bahwa perempuan dianggap lemah, suka berdandan, dan lebih sesuai untuk menghabiskan waktunya di dalam rumah, sedangkan pria dianggap cocok untuk melakukan aktivitas fisik dan intelektual, adalah norma-norma yang dibentuk oleh kondisi budaya dan masyarakat tertentu.

Ada beberapa pakar feminis mempunyai pendapat yang sedikit berlainan tentang konsep seks dan gender ini. Judith Butler dalam Gender Trouble, misalnya, beranggapan bahwa perbandingan antara seks dan gender tidak sama dengan perbandingan antara alam (biologis) dan konstruksi sosial budaya. Secara lebih ekstrim Butler mengatakan bahkan perbedaan biologis antara "pria" dan "wanita" yang dikotomis dan dianggap "saling melengkapi" itu merupakan hasil konstruksi sosial budaya yang mendukung bias ideologi heteroseksual. Pengakuan terhadap adanya dua jenis kelamin ini, menurut Butler, mengabaikan, dan bahkan merepresi, adanya kelamin ganda, dan orientasi homoseksualitas, transeksualitas dll. Jadi menurut Butler, ideologi gender tentulah yang menghasilkan konstruksi perbedaan jenis kelamin."

(h.203-4)

Senin, 14 April 2008

IDENTITAS dan BAHASA

Kutipan-kutipan di bawah ini merupakan catatan dari berbagai bahan bacaan yang saya gunakan untuk menulis dan memantapkan pemahaman. Dilarang mengutip dari blog ini untuk tulisan Anda, kecuali bila Anda memiliki referensi yang valid.

Bria, Floens Maxi Un. 2001. Introduction to the Wonders of the Canary Island: Mengenal Keajaiban Pulau Kenari. Kupang: Yayasan Parahita Widya Bhakti & Caritas Publishing House.

Spirit dan Filosofi Perekat Pluralisme Masyarakat Pulau Kenari

"Ham abi ing, ham abore, ham ahel, ham ama" (ungkapan etnis Hamap-Moru)
arti: bersama-sama menarik tambang, bersama-sama pula melepasnya. Bersama-sama mengangkat, bersama-sama pula melepasnya.
(h. 64)

'Onong tou Dangga alang, ateng tou wurang tou. Taka tou tenung tou, pekkke tou hanga tou" (etnis Baraler-Baranusa/alores)
arti: sehati saling mendengarkan, sehati-senafas. Makan sepiring dan minum dari satu pinggan. Satu Pelukan-satu jangkauan.
(h.65)

"Teing doling lelu khala waisang" (bahsa Lamma-Pantar)
makna: duduk bersama untuk berbicara adat. bukan sekedar formalitas belaka, tetapi untuk mencapai mufakat dan mengambil keputusan tertentu secara bersama untuk dilaksanakan.
(h. 65)

Katubi (ed.). 2004. Bahasa dan Kebudayaan Hamap: Kelompok Minoritas di Alor. Jakarta: PMB-LIPI.

BAB 1. PENDAHULUAN

Kriteria subjektif dan objektif dalam pengklasifikasian minoritas menurut Riagain & Shuibhine (1997: 13):
a. kriteria objektif melibatkan: (1) adanya ciri pembeda, seperti pemakaian bahasa yang berbeda; (2) ukuran jumlah kelompok; (3) keberadaan posisi nondominan berkaitan dengan keseluruhan populasi, dan (4) syarat bahwa anggota dari kelompok minoritas menjadi warga negara yang dibicarakan.
b. Kriteria subjektif melibatkan: keinginan dari kelompok minoritas itu sendiri untuk mempertahankan ciri pembedaan mereka. solidaritas implisit diperlukan dalam konteks ini.

Hal lain yang perlu dipikirkan ialah kemungkinan pemerintahan yang opresif, yang juga terjadi pada kebijakan bahasanya.
(h.2)

Karena orang Hamap mendapatkan "serangan" dari luar kelompok secara implisir, tanda-tanda bahasa sebagai pembeda dapat menjadi lebih penting dan karen aitu dibela mati-matian oleh orang hamap. Pada bagian ini, mereka sudah bermain pada tataran identitas kelompok melalui bahasa, termasuk melalui mitos karena mitos merupakan jenis ujaran (Barhtes 1993:109). bahasa menjadi atribut penting bagi mereka sebagai alat yang ideal untuk memfasilitasi kekohesifan antaranggota kelompok. karena itu, tidaklah mengejutkan jika akhirnya isu-isu kebahasaaan di kelurahan Moru menjadi titik awal konflik antarkelompok secara tidak langsung melalui klaim asal usul kelompok dan bahasanya yang tercermin dalam mitos. Di sini mitos meruakan ujaran yang di depolitisasi (Barthes 1993:143)
(h.6-7)

Bahasa bukanlah sekedar fakta linguistik murni, melainkan juga fakta sosial dan politik. karena itu, dalam banyak hal, bahasa merupakan hal yang esensial dari keanggotaan kelompok etnik. dalam beberapa hal lain, dan khususnya yang melibatkan bahasa dan bukan ragam bahasa, ciri-ciri kebahasaan dapat menjadi kriteria pembatas yang paling penting utnuk keanggotaan kelompok. .... Karena itulah, identitas sebagai salah satu unsur motif falam perencanaan bahasa perlu dicermati.
(h.8-9)

Fishman (1991) mengidentifikasi beberapa dimensi untuk mengukur interpenetrasi bahasa dan kebudayaan dalam rangka menentukan hilangnya vitalitas etnolinguistik:
(1) perbedaan antara berbicara, membaca dan menulis
(2) hubungan antara sikap dan kemauan, kompetensi dan performasi, dan
(3) deskripsi konteks sosiokultural dan hubungan peran dalam pemakaian bahasa
(h.10)

faktor-faktor penting yang diidentifikasi Fishman berkaitan dengan pergeseran bahasa ialah:
(1) fisik dan demografik; kepindahan populasi secara paksa atau sukarela dengan sebab penindasan ataupun alam/keadaan ekonomi yang tidak bersahabat.
(2) sosial; ketidak seimbangan yang dialami oleh anggota kelompok minoritas etnolinguistik yang seringkali tidak diuntungkan berkaitan dengan peluang pendidikan dan ekonomi,
(3) dislokasi kebudayaan: moderenisasi dan demokrasi
(h.10-11)

Semua faktor itu bekerja sama dalam berbagai cara untuk menggerogoti atas-batas kelompok minoritas dan membuatnya terbawa arus ke arah pergeseran.

BAB 3. PLURALISME BAHASA DI ALOR

Temuan-temuan peneliti sebelumnya:
a. Stokhof (1975). ...bukti untuk hipostesis mengenai hubungan genetis antara bahasa-bahasa yang dipakai di kepulauan Alor-Pnatar, antra bahasa-bahasa Alor-Pantar dan beberapa bahasa di Pulau Tiomor (sekarang negara Timor Lorosae) , dan di antra bahasa Alor-Pantar dengan bahasa Jazirah Papua (kepala burung), yaitu bahsa-bahasa Pasar Baru, Purangu, Konda, dan Yahadian.
... ditemukan 13 bahasa (bahasa austronesia (bahasa Alor) dan nonaustronesia)
(h.54)
b. Wakidi dkk. (1984). 13 bahasa, reartikulasi temuan Stokhof.
(h54)
c. SIL (2000). Ada 18 bahasa di kepulauan Alor: Alor, Nadebang, Reta, Blagar, Adang, Kabola, Hamap, Wersing, Abui, Kamang, Kula, Sawila, Kui, Kafoa, Kelon, Tereweng, Tewa, dan Lamma.
(h.55)
d. Dinas Kebudayaan NTT (wawancara pribadi, 2004). Ada 15 bahasa: Lamma, Nedebang, Deing, Blagar, Tewu, Klon, Tuntuli, Adang, Kemang, Werang, Tanglapui, Alor, Bajo, Autan, dan Kabola.
(h.55)

Temuan penelitian tahun 2004 dalam subjudul: Hamap: Sebuah Bahasa atau Dialek?


... . Biasanya dengan singkat saya jawab bahwa saya belajar bahasa Hamap. Jawaban spontan mereka biasanya ialan: "Oh .. itu sama dengan bahasa Adang!" Komentar yang saya dengar selalu begitu dan hampir saya percaya bahwa bahasa Hamap merupakan dialek bahasa Adang. (h.57)

Namun ketika hal tersebut dikonfirmasi kepada para tetua orang Hamap, mereka akan dengan tegas manyatakan bahwa bahasa Hamap bukanlah bahasa Adang. Bahasa Hamap juga bukan merupakan bagian dari bahasa Adang. Hal itu bisa dimengerti karena bahasa bukanlah sekedar fakta linguistik murni. Ketika bahasa digunakan untuk berkomunikasi,bahasa bukanlah sekadar lambang-lambang bunyi. Bahasa bukanlah sekedar sistem tanda; bahasa juga merupakan praktik sosial, bahkan politik. Di dalamnya terkandung subjek penutur yang ingin menunjukkan siapa dirinya sebagai pengguna bahasa. Konsep ini digunakan oleh subjek penutur untuk mengidentifikasi dirinya sebagai anggota kelompok etnis tertentu. (h.57)

"Samakah sebenarnya bahasa Hamap dengan bahasa Adang berdasarkan fakta linguistik murni? ataukah bahasa Hamap hanya sebagai dialek dari bahasa Adang? Meskipun fakta sosial menampik anggapan bahwa bahasa Hamap sama dengan bahasa Adang, belum tentu hal tersebut terdukung oleh kajian fakta linguistik murni." (h.57-8)

data yang digunakan: Monografi Kosakata Dasar Swadesh du Kabupaten Alor (2000). Berdasarkan date tersebut, dilakukan uji leksikostatistik.

... . Begitu pun bahasa Adang (14) dan Hamap (17). Kedua bahasa itu memiliki kosakata kognat yang lebih banyak daripada bahasa-bahasa lain di alor. Presentase kesamaan kosakata dasar bahasa Adang dan Hamap sebesar 76%. (h. 60)

Berdasarka uraian di atas, jelaslah bahwa secara teoretis bahasa Hamap merupakan satu bahasa tersendiri. Bahasa Adang bukan dialek dari bahasa lain. Akan tetapi, bahasa Hamap tidak berdiri sendiri. Bahasa Hamap merupakan anggota keluarga bahasa Hamap-Adang kerena tingginya kesamaan kosakata dasar antara bahasa Hamap dan Adang, yaitu sebesar 76%. (h.62)

BAB 4. MITOLOGI SEBAGAI INDIKASI LEGITIMASI IDENTITAS

Penelitian mengenai mitologi di Alor bertujuan untuk mendapatkan penjelasan munculnya pluralitas etnik, bahasa, dan kebudayaan.

Ada dua mitologi yang terkumpul, yaitu mitologi tentang migrasi orang Hamap ke Moraman yang berhubungan pula dengan Dewa tertinggi orang Hamap dan mitologi tentang asal-usul suku dan pembagian kerja yang ada di antara orang Hamap. Hal ini dapat pula dibaca sebagai persebaran orang Hamap di Alor beserta kerabat mereka. (h. 65)

Mitologi adalah sesuatu yang sakral, yang menghubungkan realitas dengan alam supernatural.





Rabu, 09 April 2008

BAHASA, IDENTITAS DAN NASIONALISME

Budiman, Kris (pny.). 2002. Analisis Wacana: Dari Linguistik Sampai Dekonstruksi. Yogyakarta: Kanal.

(Buku ini berisi kumpulan tulisan dari palatihan Analisis Wacana di UGM, Yogyakarta. Ada enam orang penulis yang ikut serta, antara lain: Aminuddin. Faruk ht, I Dewa Putu Wijana, Kris Budiman dan Melani Budianta.)

Laman ini merupakan catatan kutipan mengenai informasi-informasi yang penting yang didapat dari berbagai tulisan yang termuat dalam buku ini. Dilarang mengutip bila Anda belum membaca buku aslinya.

Pendekatan Linguistik Kritis (LK): Roger Flower



(Aminuddin)

Fowler (1986:2) mengemukakan bahwa, "Here, the linguistic study of literary text means, not just study of language, but study of language utilizing the concepts and methods of medern linguistics." Tujuan studi kebahasaan ini pun bukan difokuskan pada pemahaman unsur dan hubungan sistemis realitas bahasa sebagaimana kajian linguistik, tetapi difokuskan pada upaya memahami bahasa sebagao teks, sebagai gejala kehidupan sosial budaya.
(h.1)

Model analisis yang digunakan LK: model kajian secara analitik. model kajian ini dilakukan dengan semata-mata bertumpu pada fakta kebahasaaan tanpa kenyataan yang diacu.
(h1-2)

Model kajian ini banyak dikritik oleh Critical Discourse Analysis (CDA). Oleh CDA, LK memiliki kekurangan:
a. penggunaan istilah linguistik sebagai bidang kajian ketatabahasaan yang lazim digunakan dalam analisis kalimat, sedangkan fokus kajian LK merujuk pada untaian kalimat sebagai teks.
b. CL tidak menjanjikan pengungkapan pemahaman yang berkaitan dengan Power bahasa dalam kehidupan sosial masyarakat, ideologi , bentuk-bentuk perubahan sosaial dan dinamika kehidupan sosial budaya pada umumnya (Fairclough, 1995).
c. penerapan teori yang didasarkan pada konsepsi dan model kajian linguistik sebagaimana dilakukan LK juga dianggap menggambarkan pola top-down view domination (Huckin, 1999:1).
d. LK juga dianggap tidak merambah kajian yang terkait dengan hubungan teks dengan aspek historis.
(h.2-3)

LATAR BELAKANG PEMIKIRAN LINGUISTIK KRITIS

1. Bahasa sebagai Sistem Sosial Semiotik

Halliday (1978:19-20) mengemukakan terdapatnya sejumlah fungsi bahasa:

  1. Instrumental: bahasa digunakan untuk memenuhi keperluan materi tertentu
  2. Regulatori: bahasa berfungsi mengatur hubungan seseorang dengan orang lain
  3. Interaksional: bahasa berfungsi menjalin hubungan di anatra seseorang/kelompok maupun bentuk-bentuk hubungan sosial pada umumnya
  4. Personal: bahasa berfungsi untuk mengemukakan keberadaan ataupun ekspresi diri
  5. Heuristik: bahasa untuk mengeksplorasi dunia kehidupan
  6. Imajinatif: bahasa untuk mengkreasikan dunia kehidupan secara imajinatif sebagaimana penafsiran seseorang
  7. Informatif: bahasa untuk mengemukakan/mengkomunikasikan informasi baru

(h.4-5)

Bahasa selain terkait dengan dunia pengalaman penutur secara individual juga terkait dengan kehidupan sosial budaya. .... Dengan kata lain, telaah kebahasaan mesti dilakukan dengan menyikapi bahasa sebagai sistem sosial semiotik. Sebagai sistem sosial semiotik, "language does not consist of sentences, it consist of text, or discourse--the exchange of meanings in interpersonal contexts of one kind or another" (Halliday, 1978:2). Dengan kata lain sebagai sistem sosial semiotik bahasa bukan wujud sebagai kalimat tetapi sebagai teks maupun wacana. Pada keberadaannya sebagai wacana makna sistem tanda kebahasaan ditentukan oleh ciri interpersonal dan konteks penggunaannya.
(h.5-6)

Bahasa sebagai teks merupakan hasil kreativitas penggunaan penuturnya. kreasi tekstual tersebut juga terbentuk melalui proses pemilihan kata, pengalimatan, dan gaya retoris. Apabila teks sebagai wacana keberadaannya terkait dengan ciri interpersonal dan konteks penggunaan, maka analisis teks tidak dapat dilakukan secara formalistis dan impersonal." (h.6)

sebagai bagian totalitas kebudayaan dan sumbangan kreatif anggota masyarakat pemakainya, bahasa mempunyai peran aktif dalam membentuk dan mengklasifikasikan fenomena maupun dunia pengalaman. Bagi Flowler (1986:19), "words help us remeber ideas and, beter still, help us store them as "system" of ideas." (h.6)

2. Fungsi Bahasa bagi Kehidupan Kemanusiaan

... Halliday (1974:105) mengemukakan terdapatnya fungsi ideasional, interpersonal, dan tekstual. Fungsi ideasional merujuk pada fungsi bahasa sebagai wahana dalam mengekspresikan 'sesuatu'. Pengekspresian 'sesuatu' tersebut mestilah disertai representasi atas sesuatu yang akan diekspresikan karena hanya melalui representasi itulah penutur suatu bahasa dapat memahami gambaran makna kebahasaan sejalan dengan 'sesuatu' yang akan diekspresikan.

Lebih lanjut bahasa juga berfungsi interpersonal. ... merujuk pada fungsi bahasa yang dapat digunakan untuk memberikan tanggapan, penilaian, penyikapan, maupun untuk meyakinkan. Bagi Halliday (1974:106), "the interpersonal function thus subsumes both expressive and the conative." .... Dalam peristiwa komunikasi penggunaan kalimat secara demikian, maupun pemanfaatan fungsi interpersonal, juga terkait dengn gaya tuturan, konteks penuturan dan hubungan antara penutur dengan penanggap. Sebab itulah terdapatnya fungsi interpersonal tersebut juga menggambarkan hubungan secara interaktif antara penutur dengan sesuatu yang diekspresikan, dengan penanggap, maupun dengan efek tuturan yang diharapkan.

Fungsi ideasional dan interpersonal tidak akan terealisasi tanpa adanya wahana pembentuk teks. Sebab itulah kedua fungsi di atas mesti dirujuk pada fungsi ketiga, yaitu fungsi tekstual. bagi Halliday (1974:107), "a text is an operational unit of language." Pengoperasian bahasa tersebut tidak dapat dilepaskan dari penggarapan unsur kebahasaannya, misalnya pemilihan kata dan pengalimatannya tidak semata-mata ditentukan oleh kaidah ketatabahasaan secara internal melainkan juga ditentukan oleh pemenuhan fungsi bahasa dalam ubungan kemanusiaan, baik itu merujuk pada fungsi ideasional, interpersonal, maupun tekstual. (h 8-10)

3. Tatabahasa Fungsional

Dalam perspektif tatabahasa fungsional keberadaan bahasa tidak dapat dilepaskan dari (1) teks, (2) sistem, dan (3) elemen pembentuk struktur linguistik (Halliday, 1986).

Teks merujuk pada wujud penggunaan bahasa secara konkret, baik dalam bentuk tuturan lisan maupun tulisan.

Sistem mengacu pada kebermaknaan hubungan komponen fungsional bahasa, yang merujuk pada komponen ideasional, interpersonal, dan tekstual.



Thufail, Fadjar I. 2006. Menelusuri Perjalanan Nasionalisme. Dalam Jurnal Humaniora. Minggu 20 Agustus 2006. Hal. 14.

"Nasionalisme selalu terbuka ditafsirkan, dan tidak mungkin diselesaikan dengan sekedar merujuk pada konstruksi ideologi atau teritori dalam ruang sosial yang "dibayangkan" (imagined)."

"Nasionalisme tidak dapat disederhanakan menjadi persoalan kedaulatan (sovereignty) semata. ... bermula dari kesalahan memahami konsep nation-state (negara-bangsa)."

"Periode 1950-1959 adalah masa penentuan arah Indonesia sebagai sebuah bangsa (nation) dan negara (state). ... sebagian besar pelau politik memahami bangsa dan negara harus dihasilkan melalui transaksi politik. Sebuah kesepakatan yang tampaknya mulai menghilang dari diskursus politik nasional Indonesia. "

"Kerancuan konseptual sejarahwan bermula dari pemahaman negara maupun bangsa adalah konstruksi yang dibayangkan (imagined). Interpretasi yang berakar pada konsep komunitas bayangan (imagined community) yang dipakai secara tidak kritis. Dalam konsep yang diajukan pakar nasionalisme Benedic Anderson ini, suatu bangsa dianggap terbentuk apabila sekelompok warga negara bersama-sama membayangkan satu identitas nasional, meskipun di antara warga negara itu tidak berinteraksi secara langsung. "

"'Komunitas bayangan' memberikan penekanan pada ruang sebagai wadah pembentukan komunitas sosial. ... Pemahaman yang dihasilkan adalah nasionalisme yang bersandar pada konstruksi ideologis, teritorial dan "mitos" sejarah nasional."

"Pemahaman nasionalisme yang diilhami "komunitas bayangan' harus ditinjau secara kritis, apabila tidak ditinggalkan sama sekali. Meski Anderson tidak secara jelas menjelaskan konsep "komunitas bayangan' menganggap bahwa bangsa dan negara dapat diletakan dalam satu kesatuan sosial negara-bangsa (nation-state). ... Par-tha Chatterjee ... imajinasi sosial tentang bangsa tidak akan selalu sama dengan dinamika politik sebuah negara"

"Kedua realitas sosial hanya dapat bertemu dalam jaringan relasi kekuasaan yang rumit, dan masing-masing periode sejarah menghasilkan bentuk relasi yang khas."

"Bagaimana hal ini diterapkan untuk meninjau pemahaman nasionalisme yang dikemukakan sejarawan Indoensia? Pertama, harus dipahami bahwa sejarahwan adalah aktor sejarah, dan penulisan sejarah adalah tindak mengkonstruksi sejarah. ... penulisan sejarah terkait dalam jaringan kekuasaan. ... . Oleh karena itu, praktik mengkonstruksi sejarah adalah praktik kultural pragmatis yang bertujuan memberikan suatu 'bahasa' terhadap tema yang diangkat. Dalam hal ini, konsep nasionalisme pun adalah bagian tindakan pragmatik (pragmatic act) dan harus dipahami sebagai proses sejarah spesifik, dengan aktor sejarah tertentu, termasuk para sejarahwannya."

"Sebagai contoh, saat Mohamad Yamin memunculkan konsep 'nusantara', ia memperlakukannya sebagai konstruksi denotatif dalam konteks revolusi. Yamin memperlakukan 'nusantara' sebagai tujuan revolusi, bukan simbol perjuangan yang diperlakukan sebagai fetish. Titik awalnya bagi Yamin adalah kesamaan hak-hak manusia, dalam bentuk kesamaan hak individu, kelompok etnis, maupun hak sebagai satu negara (state). Oleh karena itu nasionalisme dalam konsep yamin adalah hak menentukan dan paling penting adalah hak memperbincangkan kedaulatan (sovereignty). "

"Tetapi di tangan sejarawan Indonesia di tahun 1980-an, saat banyak sejarahwan menjadi "alat" orde baru, konsep nasionalisme dipersempit menjadi sekedar kekuasaan teritorial dan nasionalisme dijadikan fetish, sebuah konstruksi imaji sosial yang dipuja melebihi ideologi. nasionalisme sebagai bentuk transaksi politik antara warga dengan negara, dipersempit dengan kesepakatan moral yang seolah-olah dibayangkan tersebar secara homogen diseluruh pelosok tanah air. Pencarian kesepakatan moral inilah yang boleh jadi mulai membayangi diskursus nasionalisme di Indonesia."

"... mengingkari dinamika sejarah dan politik. Kajian terakhir tentang negara (the state) membuktikan bahwa pasangan negara-bangsa adalah konstruksi ambigu. .... Begona Aretxaga ... mebgatakan politik negara seringkali justru tidak sejalan dengan pemahaman tentang kebangsaan (nationhood). "

"... . Aretxaga mengatakan, bentuk nasionalisme yang muncul dari relasi bangsa dan negara semacam ini adalah nasionalisme kosong (hollowed) karena tidak ada transaksi politik yang terjadi."

"Di Indonesia, kendenderungan nasionalisme "kosong" kembali menyeruak. Keinginan kembali pada negara moral (moral state) tampaknya menghantui mereka yang memiliki ideologi politik kanan maupun kiri. Sejarahwan dan ilmuan sosial seharusnya tidak terjebak pada kecenderungan nasionalisme sebagai fetish ini. ... pemahaman nasionalisme yang direduksi menjadi kedaulatan religius maupun kedaulatan kelas, sama-sama memiliki bahaya yang menghasilkan bentuk nasionalisme 'kosong'."

Senin, 07 April 2008

DOING VISUAL ETHNOGRAPHY

Pink, Sarah. 2001. Doing Visual Ethnography. London: Sage.

KUTIPAN LANGSUNG

INTRODUCTION
Photography, ... are becoming increasingly incorporated into the work of etnographers: as cultural texts; as representations of ethnographic knowledge; and as sites of cultural production, social interaction and individual experience that themselves from ethnographic fieldwork locales.

..., the benefits of an ethnographic approach are being realized in visual art and media studies with development such as 'media ethnography' (see Crawford and Hafsteinnson 1996), and the use of ethnographic research methods and anthropological theory to inform photographic practice and representation (e.g. Olivia da Silva, barbara Hind).
(p.1)

An Approach to Theory, Method and the Visual in Ethnography

The methods should serve the aims of the research, not the research serve the aim of the method' (McGuigan 1997:2). Moreover, as Josephides points out, 'out ethnographic strategies are also shaped by the subjects' situations, their global as well as local perceptions, and their demands and expectation to us'. Therefore, 'There can be no blueprint for how to do field works. It really depends on the local people, and for this reason we have to construct our theories of how to do field work in the field' (Josephides 1997:32, original italics).
(p.4)

Images may not necessarily be the main research method or topic, butthrough their relation to other sensory, material and discursive elements of the research images and visual knowledge will become of interest. As Stoller reminds us, 'it is representationally as well as analytically important to consider how perception in non-western societies develves not simply from vision ... but also from smell, touch, taste and hearing' (1997:xv-xvi).

Academic epistemologies and conventional academic modes of representation should not be used to obscure and abstract the epistemologies and experienced realites of local people. Rather, these may complement one another as different types of ethnographic knowledge that may be experienced and represented in a range of different textual, visual and other sensory ways.
(p.5)

Disiplinary concerns and ethnographic research

Anthropology, sociology, cultural studies, photographic studies and media studies are the key disciplines. With their shared interests in material culture, practices of representation, the interpretation of cultural texts and comprehending social relations and individual experience, each discipline offers its own understanding of the visual in culture and society.
(p.5)