Kamis, 24 April 2008

BAHASA DAN GENDER

Budianta, Melani. 2002. Pendekatan Feminis Terhadap Wacana: Sebuah Pengantar. dalam Analisis Wacana: Dari Linguistik Sampai Dekonstruksi. Yogyakarta: Kanal.

SEMUA KUTIPAN LANGSUNG!

Secara umum gender dapat didefinisikan sebagai pembedaan-pembedaan yang bersifat sosial yang dikenakan atas perbedaan-perbedaan biologis yang ada antara jenis-jenis kelamin. Dalam konsep ini jelas dibedakan antara yang bersifat alami, yakni pembedaan biologis, dan yang bersifat sosial dan budaya. Bahwa wanita mempunyai rahim dan laki-laki mempunyai penis, adalah suatu kenyataan biologis, tetapi bahwa perempuan dianggap lemah, suka berdandan, dan lebih sesuai untuk menghabiskan waktunya di dalam rumah, sedangkan pria dianggap cocok untuk melakukan aktivitas fisik dan intelektual, adalah norma-norma yang dibentuk oleh kondisi budaya dan masyarakat tertentu.

Ada beberapa pakar feminis mempunyai pendapat yang sedikit berlainan tentang konsep seks dan gender ini. Judith Butler dalam Gender Trouble, misalnya, beranggapan bahwa perbandingan antara seks dan gender tidak sama dengan perbandingan antara alam (biologis) dan konstruksi sosial budaya. Secara lebih ekstrim Butler mengatakan bahkan perbedaan biologis antara "pria" dan "wanita" yang dikotomis dan dianggap "saling melengkapi" itu merupakan hasil konstruksi sosial budaya yang mendukung bias ideologi heteroseksual. Pengakuan terhadap adanya dua jenis kelamin ini, menurut Butler, mengabaikan, dan bahkan merepresi, adanya kelamin ganda, dan orientasi homoseksualitas, transeksualitas dll. Jadi menurut Butler, ideologi gender tentulah yang menghasilkan konstruksi perbedaan jenis kelamin."

(h.203-4)

Senin, 14 April 2008

IDENTITAS dan BAHASA

Kutipan-kutipan di bawah ini merupakan catatan dari berbagai bahan bacaan yang saya gunakan untuk menulis dan memantapkan pemahaman. Dilarang mengutip dari blog ini untuk tulisan Anda, kecuali bila Anda memiliki referensi yang valid.

Bria, Floens Maxi Un. 2001. Introduction to the Wonders of the Canary Island: Mengenal Keajaiban Pulau Kenari. Kupang: Yayasan Parahita Widya Bhakti & Caritas Publishing House.

Spirit dan Filosofi Perekat Pluralisme Masyarakat Pulau Kenari

"Ham abi ing, ham abore, ham ahel, ham ama" (ungkapan etnis Hamap-Moru)
arti: bersama-sama menarik tambang, bersama-sama pula melepasnya. Bersama-sama mengangkat, bersama-sama pula melepasnya.
(h. 64)

'Onong tou Dangga alang, ateng tou wurang tou. Taka tou tenung tou, pekkke tou hanga tou" (etnis Baraler-Baranusa/alores)
arti: sehati saling mendengarkan, sehati-senafas. Makan sepiring dan minum dari satu pinggan. Satu Pelukan-satu jangkauan.
(h.65)

"Teing doling lelu khala waisang" (bahsa Lamma-Pantar)
makna: duduk bersama untuk berbicara adat. bukan sekedar formalitas belaka, tetapi untuk mencapai mufakat dan mengambil keputusan tertentu secara bersama untuk dilaksanakan.
(h. 65)

Katubi (ed.). 2004. Bahasa dan Kebudayaan Hamap: Kelompok Minoritas di Alor. Jakarta: PMB-LIPI.

BAB 1. PENDAHULUAN

Kriteria subjektif dan objektif dalam pengklasifikasian minoritas menurut Riagain & Shuibhine (1997: 13):
a. kriteria objektif melibatkan: (1) adanya ciri pembeda, seperti pemakaian bahasa yang berbeda; (2) ukuran jumlah kelompok; (3) keberadaan posisi nondominan berkaitan dengan keseluruhan populasi, dan (4) syarat bahwa anggota dari kelompok minoritas menjadi warga negara yang dibicarakan.
b. Kriteria subjektif melibatkan: keinginan dari kelompok minoritas itu sendiri untuk mempertahankan ciri pembedaan mereka. solidaritas implisit diperlukan dalam konteks ini.

Hal lain yang perlu dipikirkan ialah kemungkinan pemerintahan yang opresif, yang juga terjadi pada kebijakan bahasanya.
(h.2)

Karena orang Hamap mendapatkan "serangan" dari luar kelompok secara implisir, tanda-tanda bahasa sebagai pembeda dapat menjadi lebih penting dan karen aitu dibela mati-matian oleh orang hamap. Pada bagian ini, mereka sudah bermain pada tataran identitas kelompok melalui bahasa, termasuk melalui mitos karena mitos merupakan jenis ujaran (Barhtes 1993:109). bahasa menjadi atribut penting bagi mereka sebagai alat yang ideal untuk memfasilitasi kekohesifan antaranggota kelompok. karena itu, tidaklah mengejutkan jika akhirnya isu-isu kebahasaaan di kelurahan Moru menjadi titik awal konflik antarkelompok secara tidak langsung melalui klaim asal usul kelompok dan bahasanya yang tercermin dalam mitos. Di sini mitos meruakan ujaran yang di depolitisasi (Barthes 1993:143)
(h.6-7)

Bahasa bukanlah sekedar fakta linguistik murni, melainkan juga fakta sosial dan politik. karena itu, dalam banyak hal, bahasa merupakan hal yang esensial dari keanggotaan kelompok etnik. dalam beberapa hal lain, dan khususnya yang melibatkan bahasa dan bukan ragam bahasa, ciri-ciri kebahasaan dapat menjadi kriteria pembatas yang paling penting utnuk keanggotaan kelompok. .... Karena itulah, identitas sebagai salah satu unsur motif falam perencanaan bahasa perlu dicermati.
(h.8-9)

Fishman (1991) mengidentifikasi beberapa dimensi untuk mengukur interpenetrasi bahasa dan kebudayaan dalam rangka menentukan hilangnya vitalitas etnolinguistik:
(1) perbedaan antara berbicara, membaca dan menulis
(2) hubungan antara sikap dan kemauan, kompetensi dan performasi, dan
(3) deskripsi konteks sosiokultural dan hubungan peran dalam pemakaian bahasa
(h.10)

faktor-faktor penting yang diidentifikasi Fishman berkaitan dengan pergeseran bahasa ialah:
(1) fisik dan demografik; kepindahan populasi secara paksa atau sukarela dengan sebab penindasan ataupun alam/keadaan ekonomi yang tidak bersahabat.
(2) sosial; ketidak seimbangan yang dialami oleh anggota kelompok minoritas etnolinguistik yang seringkali tidak diuntungkan berkaitan dengan peluang pendidikan dan ekonomi,
(3) dislokasi kebudayaan: moderenisasi dan demokrasi
(h.10-11)

Semua faktor itu bekerja sama dalam berbagai cara untuk menggerogoti atas-batas kelompok minoritas dan membuatnya terbawa arus ke arah pergeseran.

BAB 3. PLURALISME BAHASA DI ALOR

Temuan-temuan peneliti sebelumnya:
a. Stokhof (1975). ...bukti untuk hipostesis mengenai hubungan genetis antara bahasa-bahasa yang dipakai di kepulauan Alor-Pnatar, antra bahasa-bahasa Alor-Pantar dan beberapa bahasa di Pulau Tiomor (sekarang negara Timor Lorosae) , dan di antra bahasa Alor-Pantar dengan bahasa Jazirah Papua (kepala burung), yaitu bahsa-bahasa Pasar Baru, Purangu, Konda, dan Yahadian.
... ditemukan 13 bahasa (bahasa austronesia (bahasa Alor) dan nonaustronesia)
(h.54)
b. Wakidi dkk. (1984). 13 bahasa, reartikulasi temuan Stokhof.
(h54)
c. SIL (2000). Ada 18 bahasa di kepulauan Alor: Alor, Nadebang, Reta, Blagar, Adang, Kabola, Hamap, Wersing, Abui, Kamang, Kula, Sawila, Kui, Kafoa, Kelon, Tereweng, Tewa, dan Lamma.
(h.55)
d. Dinas Kebudayaan NTT (wawancara pribadi, 2004). Ada 15 bahasa: Lamma, Nedebang, Deing, Blagar, Tewu, Klon, Tuntuli, Adang, Kemang, Werang, Tanglapui, Alor, Bajo, Autan, dan Kabola.
(h.55)

Temuan penelitian tahun 2004 dalam subjudul: Hamap: Sebuah Bahasa atau Dialek?


... . Biasanya dengan singkat saya jawab bahwa saya belajar bahasa Hamap. Jawaban spontan mereka biasanya ialan: "Oh .. itu sama dengan bahasa Adang!" Komentar yang saya dengar selalu begitu dan hampir saya percaya bahwa bahasa Hamap merupakan dialek bahasa Adang. (h.57)

Namun ketika hal tersebut dikonfirmasi kepada para tetua orang Hamap, mereka akan dengan tegas manyatakan bahwa bahasa Hamap bukanlah bahasa Adang. Bahasa Hamap juga bukan merupakan bagian dari bahasa Adang. Hal itu bisa dimengerti karena bahasa bukanlah sekedar fakta linguistik murni. Ketika bahasa digunakan untuk berkomunikasi,bahasa bukanlah sekadar lambang-lambang bunyi. Bahasa bukanlah sekedar sistem tanda; bahasa juga merupakan praktik sosial, bahkan politik. Di dalamnya terkandung subjek penutur yang ingin menunjukkan siapa dirinya sebagai pengguna bahasa. Konsep ini digunakan oleh subjek penutur untuk mengidentifikasi dirinya sebagai anggota kelompok etnis tertentu. (h.57)

"Samakah sebenarnya bahasa Hamap dengan bahasa Adang berdasarkan fakta linguistik murni? ataukah bahasa Hamap hanya sebagai dialek dari bahasa Adang? Meskipun fakta sosial menampik anggapan bahwa bahasa Hamap sama dengan bahasa Adang, belum tentu hal tersebut terdukung oleh kajian fakta linguistik murni." (h.57-8)

data yang digunakan: Monografi Kosakata Dasar Swadesh du Kabupaten Alor (2000). Berdasarkan date tersebut, dilakukan uji leksikostatistik.

... . Begitu pun bahasa Adang (14) dan Hamap (17). Kedua bahasa itu memiliki kosakata kognat yang lebih banyak daripada bahasa-bahasa lain di alor. Presentase kesamaan kosakata dasar bahasa Adang dan Hamap sebesar 76%. (h. 60)

Berdasarka uraian di atas, jelaslah bahwa secara teoretis bahasa Hamap merupakan satu bahasa tersendiri. Bahasa Adang bukan dialek dari bahasa lain. Akan tetapi, bahasa Hamap tidak berdiri sendiri. Bahasa Hamap merupakan anggota keluarga bahasa Hamap-Adang kerena tingginya kesamaan kosakata dasar antara bahasa Hamap dan Adang, yaitu sebesar 76%. (h.62)

BAB 4. MITOLOGI SEBAGAI INDIKASI LEGITIMASI IDENTITAS

Penelitian mengenai mitologi di Alor bertujuan untuk mendapatkan penjelasan munculnya pluralitas etnik, bahasa, dan kebudayaan.

Ada dua mitologi yang terkumpul, yaitu mitologi tentang migrasi orang Hamap ke Moraman yang berhubungan pula dengan Dewa tertinggi orang Hamap dan mitologi tentang asal-usul suku dan pembagian kerja yang ada di antara orang Hamap. Hal ini dapat pula dibaca sebagai persebaran orang Hamap di Alor beserta kerabat mereka. (h. 65)

Mitologi adalah sesuatu yang sakral, yang menghubungkan realitas dengan alam supernatural.





Rabu, 09 April 2008

BAHASA, IDENTITAS DAN NASIONALISME

Budiman, Kris (pny.). 2002. Analisis Wacana: Dari Linguistik Sampai Dekonstruksi. Yogyakarta: Kanal.

(Buku ini berisi kumpulan tulisan dari palatihan Analisis Wacana di UGM, Yogyakarta. Ada enam orang penulis yang ikut serta, antara lain: Aminuddin. Faruk ht, I Dewa Putu Wijana, Kris Budiman dan Melani Budianta.)

Laman ini merupakan catatan kutipan mengenai informasi-informasi yang penting yang didapat dari berbagai tulisan yang termuat dalam buku ini. Dilarang mengutip bila Anda belum membaca buku aslinya.

Pendekatan Linguistik Kritis (LK): Roger Flower



(Aminuddin)

Fowler (1986:2) mengemukakan bahwa, "Here, the linguistic study of literary text means, not just study of language, but study of language utilizing the concepts and methods of medern linguistics." Tujuan studi kebahasaan ini pun bukan difokuskan pada pemahaman unsur dan hubungan sistemis realitas bahasa sebagaimana kajian linguistik, tetapi difokuskan pada upaya memahami bahasa sebagao teks, sebagai gejala kehidupan sosial budaya.
(h.1)

Model analisis yang digunakan LK: model kajian secara analitik. model kajian ini dilakukan dengan semata-mata bertumpu pada fakta kebahasaaan tanpa kenyataan yang diacu.
(h1-2)

Model kajian ini banyak dikritik oleh Critical Discourse Analysis (CDA). Oleh CDA, LK memiliki kekurangan:
a. penggunaan istilah linguistik sebagai bidang kajian ketatabahasaan yang lazim digunakan dalam analisis kalimat, sedangkan fokus kajian LK merujuk pada untaian kalimat sebagai teks.
b. CL tidak menjanjikan pengungkapan pemahaman yang berkaitan dengan Power bahasa dalam kehidupan sosial masyarakat, ideologi , bentuk-bentuk perubahan sosaial dan dinamika kehidupan sosial budaya pada umumnya (Fairclough, 1995).
c. penerapan teori yang didasarkan pada konsepsi dan model kajian linguistik sebagaimana dilakukan LK juga dianggap menggambarkan pola top-down view domination (Huckin, 1999:1).
d. LK juga dianggap tidak merambah kajian yang terkait dengan hubungan teks dengan aspek historis.
(h.2-3)

LATAR BELAKANG PEMIKIRAN LINGUISTIK KRITIS

1. Bahasa sebagai Sistem Sosial Semiotik

Halliday (1978:19-20) mengemukakan terdapatnya sejumlah fungsi bahasa:

  1. Instrumental: bahasa digunakan untuk memenuhi keperluan materi tertentu
  2. Regulatori: bahasa berfungsi mengatur hubungan seseorang dengan orang lain
  3. Interaksional: bahasa berfungsi menjalin hubungan di anatra seseorang/kelompok maupun bentuk-bentuk hubungan sosial pada umumnya
  4. Personal: bahasa berfungsi untuk mengemukakan keberadaan ataupun ekspresi diri
  5. Heuristik: bahasa untuk mengeksplorasi dunia kehidupan
  6. Imajinatif: bahasa untuk mengkreasikan dunia kehidupan secara imajinatif sebagaimana penafsiran seseorang
  7. Informatif: bahasa untuk mengemukakan/mengkomunikasikan informasi baru

(h.4-5)

Bahasa selain terkait dengan dunia pengalaman penutur secara individual juga terkait dengan kehidupan sosial budaya. .... Dengan kata lain, telaah kebahasaan mesti dilakukan dengan menyikapi bahasa sebagai sistem sosial semiotik. Sebagai sistem sosial semiotik, "language does not consist of sentences, it consist of text, or discourse--the exchange of meanings in interpersonal contexts of one kind or another" (Halliday, 1978:2). Dengan kata lain sebagai sistem sosial semiotik bahasa bukan wujud sebagai kalimat tetapi sebagai teks maupun wacana. Pada keberadaannya sebagai wacana makna sistem tanda kebahasaan ditentukan oleh ciri interpersonal dan konteks penggunaannya.
(h.5-6)

Bahasa sebagai teks merupakan hasil kreativitas penggunaan penuturnya. kreasi tekstual tersebut juga terbentuk melalui proses pemilihan kata, pengalimatan, dan gaya retoris. Apabila teks sebagai wacana keberadaannya terkait dengan ciri interpersonal dan konteks penggunaan, maka analisis teks tidak dapat dilakukan secara formalistis dan impersonal." (h.6)

sebagai bagian totalitas kebudayaan dan sumbangan kreatif anggota masyarakat pemakainya, bahasa mempunyai peran aktif dalam membentuk dan mengklasifikasikan fenomena maupun dunia pengalaman. Bagi Flowler (1986:19), "words help us remeber ideas and, beter still, help us store them as "system" of ideas." (h.6)

2. Fungsi Bahasa bagi Kehidupan Kemanusiaan

... Halliday (1974:105) mengemukakan terdapatnya fungsi ideasional, interpersonal, dan tekstual. Fungsi ideasional merujuk pada fungsi bahasa sebagai wahana dalam mengekspresikan 'sesuatu'. Pengekspresian 'sesuatu' tersebut mestilah disertai representasi atas sesuatu yang akan diekspresikan karena hanya melalui representasi itulah penutur suatu bahasa dapat memahami gambaran makna kebahasaan sejalan dengan 'sesuatu' yang akan diekspresikan.

Lebih lanjut bahasa juga berfungsi interpersonal. ... merujuk pada fungsi bahasa yang dapat digunakan untuk memberikan tanggapan, penilaian, penyikapan, maupun untuk meyakinkan. Bagi Halliday (1974:106), "the interpersonal function thus subsumes both expressive and the conative." .... Dalam peristiwa komunikasi penggunaan kalimat secara demikian, maupun pemanfaatan fungsi interpersonal, juga terkait dengn gaya tuturan, konteks penuturan dan hubungan antara penutur dengan penanggap. Sebab itulah terdapatnya fungsi interpersonal tersebut juga menggambarkan hubungan secara interaktif antara penutur dengan sesuatu yang diekspresikan, dengan penanggap, maupun dengan efek tuturan yang diharapkan.

Fungsi ideasional dan interpersonal tidak akan terealisasi tanpa adanya wahana pembentuk teks. Sebab itulah kedua fungsi di atas mesti dirujuk pada fungsi ketiga, yaitu fungsi tekstual. bagi Halliday (1974:107), "a text is an operational unit of language." Pengoperasian bahasa tersebut tidak dapat dilepaskan dari penggarapan unsur kebahasaannya, misalnya pemilihan kata dan pengalimatannya tidak semata-mata ditentukan oleh kaidah ketatabahasaan secara internal melainkan juga ditentukan oleh pemenuhan fungsi bahasa dalam ubungan kemanusiaan, baik itu merujuk pada fungsi ideasional, interpersonal, maupun tekstual. (h 8-10)

3. Tatabahasa Fungsional

Dalam perspektif tatabahasa fungsional keberadaan bahasa tidak dapat dilepaskan dari (1) teks, (2) sistem, dan (3) elemen pembentuk struktur linguistik (Halliday, 1986).

Teks merujuk pada wujud penggunaan bahasa secara konkret, baik dalam bentuk tuturan lisan maupun tulisan.

Sistem mengacu pada kebermaknaan hubungan komponen fungsional bahasa, yang merujuk pada komponen ideasional, interpersonal, dan tekstual.



Thufail, Fadjar I. 2006. Menelusuri Perjalanan Nasionalisme. Dalam Jurnal Humaniora. Minggu 20 Agustus 2006. Hal. 14.

"Nasionalisme selalu terbuka ditafsirkan, dan tidak mungkin diselesaikan dengan sekedar merujuk pada konstruksi ideologi atau teritori dalam ruang sosial yang "dibayangkan" (imagined)."

"Nasionalisme tidak dapat disederhanakan menjadi persoalan kedaulatan (sovereignty) semata. ... bermula dari kesalahan memahami konsep nation-state (negara-bangsa)."

"Periode 1950-1959 adalah masa penentuan arah Indonesia sebagai sebuah bangsa (nation) dan negara (state). ... sebagian besar pelau politik memahami bangsa dan negara harus dihasilkan melalui transaksi politik. Sebuah kesepakatan yang tampaknya mulai menghilang dari diskursus politik nasional Indonesia. "

"Kerancuan konseptual sejarahwan bermula dari pemahaman negara maupun bangsa adalah konstruksi yang dibayangkan (imagined). Interpretasi yang berakar pada konsep komunitas bayangan (imagined community) yang dipakai secara tidak kritis. Dalam konsep yang diajukan pakar nasionalisme Benedic Anderson ini, suatu bangsa dianggap terbentuk apabila sekelompok warga negara bersama-sama membayangkan satu identitas nasional, meskipun di antara warga negara itu tidak berinteraksi secara langsung. "

"'Komunitas bayangan' memberikan penekanan pada ruang sebagai wadah pembentukan komunitas sosial. ... Pemahaman yang dihasilkan adalah nasionalisme yang bersandar pada konstruksi ideologis, teritorial dan "mitos" sejarah nasional."

"Pemahaman nasionalisme yang diilhami "komunitas bayangan' harus ditinjau secara kritis, apabila tidak ditinggalkan sama sekali. Meski Anderson tidak secara jelas menjelaskan konsep "komunitas bayangan' menganggap bahwa bangsa dan negara dapat diletakan dalam satu kesatuan sosial negara-bangsa (nation-state). ... Par-tha Chatterjee ... imajinasi sosial tentang bangsa tidak akan selalu sama dengan dinamika politik sebuah negara"

"Kedua realitas sosial hanya dapat bertemu dalam jaringan relasi kekuasaan yang rumit, dan masing-masing periode sejarah menghasilkan bentuk relasi yang khas."

"Bagaimana hal ini diterapkan untuk meninjau pemahaman nasionalisme yang dikemukakan sejarawan Indoensia? Pertama, harus dipahami bahwa sejarahwan adalah aktor sejarah, dan penulisan sejarah adalah tindak mengkonstruksi sejarah. ... penulisan sejarah terkait dalam jaringan kekuasaan. ... . Oleh karena itu, praktik mengkonstruksi sejarah adalah praktik kultural pragmatis yang bertujuan memberikan suatu 'bahasa' terhadap tema yang diangkat. Dalam hal ini, konsep nasionalisme pun adalah bagian tindakan pragmatik (pragmatic act) dan harus dipahami sebagai proses sejarah spesifik, dengan aktor sejarah tertentu, termasuk para sejarahwannya."

"Sebagai contoh, saat Mohamad Yamin memunculkan konsep 'nusantara', ia memperlakukannya sebagai konstruksi denotatif dalam konteks revolusi. Yamin memperlakukan 'nusantara' sebagai tujuan revolusi, bukan simbol perjuangan yang diperlakukan sebagai fetish. Titik awalnya bagi Yamin adalah kesamaan hak-hak manusia, dalam bentuk kesamaan hak individu, kelompok etnis, maupun hak sebagai satu negara (state). Oleh karena itu nasionalisme dalam konsep yamin adalah hak menentukan dan paling penting adalah hak memperbincangkan kedaulatan (sovereignty). "

"Tetapi di tangan sejarawan Indonesia di tahun 1980-an, saat banyak sejarahwan menjadi "alat" orde baru, konsep nasionalisme dipersempit menjadi sekedar kekuasaan teritorial dan nasionalisme dijadikan fetish, sebuah konstruksi imaji sosial yang dipuja melebihi ideologi. nasionalisme sebagai bentuk transaksi politik antara warga dengan negara, dipersempit dengan kesepakatan moral yang seolah-olah dibayangkan tersebar secara homogen diseluruh pelosok tanah air. Pencarian kesepakatan moral inilah yang boleh jadi mulai membayangi diskursus nasionalisme di Indonesia."

"... mengingkari dinamika sejarah dan politik. Kajian terakhir tentang negara (the state) membuktikan bahwa pasangan negara-bangsa adalah konstruksi ambigu. .... Begona Aretxaga ... mebgatakan politik negara seringkali justru tidak sejalan dengan pemahaman tentang kebangsaan (nationhood). "

"... . Aretxaga mengatakan, bentuk nasionalisme yang muncul dari relasi bangsa dan negara semacam ini adalah nasionalisme kosong (hollowed) karena tidak ada transaksi politik yang terjadi."

"Di Indonesia, kendenderungan nasionalisme "kosong" kembali menyeruak. Keinginan kembali pada negara moral (moral state) tampaknya menghantui mereka yang memiliki ideologi politik kanan maupun kiri. Sejarahwan dan ilmuan sosial seharusnya tidak terjebak pada kecenderungan nasionalisme sebagai fetish ini. ... pemahaman nasionalisme yang direduksi menjadi kedaulatan religius maupun kedaulatan kelas, sama-sama memiliki bahaya yang menghasilkan bentuk nasionalisme 'kosong'."

Senin, 07 April 2008

DOING VISUAL ETHNOGRAPHY

Pink, Sarah. 2001. Doing Visual Ethnography. London: Sage.

KUTIPAN LANGSUNG

INTRODUCTION
Photography, ... are becoming increasingly incorporated into the work of etnographers: as cultural texts; as representations of ethnographic knowledge; and as sites of cultural production, social interaction and individual experience that themselves from ethnographic fieldwork locales.

..., the benefits of an ethnographic approach are being realized in visual art and media studies with development such as 'media ethnography' (see Crawford and Hafsteinnson 1996), and the use of ethnographic research methods and anthropological theory to inform photographic practice and representation (e.g. Olivia da Silva, barbara Hind).
(p.1)

An Approach to Theory, Method and the Visual in Ethnography

The methods should serve the aims of the research, not the research serve the aim of the method' (McGuigan 1997:2). Moreover, as Josephides points out, 'out ethnographic strategies are also shaped by the subjects' situations, their global as well as local perceptions, and their demands and expectation to us'. Therefore, 'There can be no blueprint for how to do field works. It really depends on the local people, and for this reason we have to construct our theories of how to do field work in the field' (Josephides 1997:32, original italics).
(p.4)

Images may not necessarily be the main research method or topic, butthrough their relation to other sensory, material and discursive elements of the research images and visual knowledge will become of interest. As Stoller reminds us, 'it is representationally as well as analytically important to consider how perception in non-western societies develves not simply from vision ... but also from smell, touch, taste and hearing' (1997:xv-xvi).

Academic epistemologies and conventional academic modes of representation should not be used to obscure and abstract the epistemologies and experienced realites of local people. Rather, these may complement one another as different types of ethnographic knowledge that may be experienced and represented in a range of different textual, visual and other sensory ways.
(p.5)

Disiplinary concerns and ethnographic research

Anthropology, sociology, cultural studies, photographic studies and media studies are the key disciplines. With their shared interests in material culture, practices of representation, the interpretation of cultural texts and comprehending social relations and individual experience, each discipline offers its own understanding of the visual in culture and society.
(p.5)