Rabu, 28 Mei 2008

PEREMPUAN vs GENDER

Gender Versus Kodrat
Venny Damanik*)
"Perempuan tidak usah sekolah tinggi-tinggi, karena pada akhirnya akan masuk ke dapur juga. Cis! Laki-laki koq menangis, gak malu, seperti perempuan saja! Sudah kodratnya merawat anak adalah pekerjaan perempuan. Perempuan tidak boleh menjadi pemimpin. Perempuan lebih lembut dari laki-laki. Mainan boneka untuk anak perempuan saja, sementara mainan pesawat terbang hanya untuk anak laki-laki." Kalimat-kalimat tersebut di atas sangat mencerminkan pemahaman kita tentang apakah yang merupakan gender dan kodrat.
Tulisan ini hanyalah bagian kulit dari sekian banyaknya tulisan hebat dan berbobot yang mengulas tentang gender, namun kiranya tujuannya dapat terwujud yaitu turut menjadi kontribusi untuk mengoreksi konsep yang menyimpang tentang perbedaan antara laki-laki dan perempuan.
I. Konsep Kodrat
Kodrat merupakan anugerah dari Tuhan yaitu penciptaan Tuhan atas laki-laki dan perempuan. Tuhan menciptakan laki-laki mempunyai penis sementara perempuan diciptakan-Nya mempunyai vagina yang memungkinkannya mengalami menstruasi dan dapat melahirkan. Hanya itulah yang membedakan laki-laki dan perempuan. Maka sesuai dengan kodratnya perlakuan terhadap laki-laki dan perempuan memang harus beda karena Tuhan menciptakan mereka berbeda. Sebagai contoh, bagi beberapa perempuan, mungkin karena faktor kurang gizi atau ada kelainan pada alat reproduksi, tak jarang mengalami masalah bila mengalami menstruasi, dengan demikian adalah patut bila Undang-Undang Ketenagakerjaan memberikan hak bagi perempuan untuk mendapatkan cuti haid pada hari pertama dan kedua menstruasi. Perempuan yang sedang menyusui mempunyai hak untuk menyusui bayinya di tempat kerja, dan sejatinya tempat kerjanya wajib menyediakan child care atau tempat untuk menyusui. Perempuan yang sedang hamil tidak diperbolehkan bekerja di tempat yang tidak nyaman dan berbahaya bagi janin seperti di tempat bahan kimia beracun, lembur sampai pagi, hanya duduk atau berdiri selama jam kerja tanpa pergerakan yang leluasa.
II. Konsep Gender
Gender merupakan perbedaan laki-laki dan perempuan oleh masyarakat dimana mereka hidup. Bila sesuai kodratnya laki-laki dan perempuan adalah sama di seluruh dunia, maka gender berbeda berdasarkan masyarakat, budaya bahkan waktu. Masyarakat memberikan peran dan sifat berbeda kepada laki-laki dan perempuan sejak mereka lahir. Sebagai contoh, pada zaman nenek moyang kita, laki-laki pergi berburu sementara perempuan di dalam rumah menjaga anak. Di dalam sebuah keluarga, bila ada kelahiran, untuk menyambut anak laki-laki, yang dipotong adalah kerbau; tetapi bila yang lahir adalah perempuan, maka yang dipotong cukup kerbau pendek saja. Demikianlah setiap masyarakat merubah laki-laki dan perempuan menjadi jantan dan betina dan menjadi maskulin dan feminin dengan perilaku, peran, tanggung jawab, hak dan pengharapan yang berbeda (Bhasin, 2000; Hussein, 2003).
Gender juga berbeda di berbagai belahan dunia ini. Di beberapa tempat, tidak menjadi masalah bila perempuan yang mencari nafkah (bread winner), jadi peran domestik seperti mengurus dapur dan anak, diambil alih oleh laki-laki. Namun di negara seperti Indonesia misalnya karena mungkin masih dipengaruhi latar belakang sosial yang patriarkal, maka laki-laki yang masuk dapur dan menjaga anak dianggap sangat aneh dan bahkan ada yang mengatasnamakan Tuhan mengklaim bahwa laki-laki yang demikian telah melanggar kodratnya sebagai laki-laki. Di Jerman misalnya, masyarakat tidak lagi mempersoalkan kepemimpinan Angela Merkel hanya karena dia perempuan tetapi lebih pada pertanggungjawaban tugasnya sebagai seorang pemimpin. Sebaliknya berbeda dengan di Indonesia, banyak kelompok yang membawa-bawa nama Tuhan mengatakan bahwa perempuan tidak boleh menjadi presiden.
Selain berbeda di berbagai belahan dunia, gender juga berbeda menurut waktu. Pada zaman kakek nenek kita, perempuan yang memakai celana panjang atau pendek, dianggap tidak lazim dan bahkan tidak sopan, tetapi sekarang hal tersebut tidak lagi menjadi persoalan. Indonesia pernah mendapat kunjungan pemimpin negara Sudan dan kalau tidak salah, sang pemimpin yang adalah laki-laki memakai rok dalam kunjungan resminya itu. Bangsawan laki-laki di negara Skotlandia, dalam upacara tertentu mereka memakai rok juga. Sementara di Indonesia, pernah juga sih, ada grup band Sheila on Seven memakai rok, tetapi itu hanyalah tuntutan skenario; namun belum pernah di Indonesia kita menyaksikan laki-laki memakai rok. Kalau dulu, beberapa jenis musik dan olah raga seperti sumo, gulat, angkat barbel dan bola kaki hanyalah merupakan domain laki-laki, namun sekarang kita telah menemukan tim sepak bola perempuan dari Korea Utara sebagai club sepak bola terbaik di dunia misalnya, juga perempuan berotot seperti Ade Ray dimana dulu mungkin hal tersebut tidak lazim. Demikianlah gender merupakan ciptaan atau buatan manusia yang berbeda di berbagai belahan dunia ini dan dapat berubah.
III. Koreksi atas Konsep "Bias Gender"
Oleh karena gender adalah buatan manusia, maka gender merupakan penyimpangan dari kodrat. Gender sering memaksa apa yang sesungguhnya bukan kodrat menjadi kodrat. Akhirnya, hal ini sering menggiring kita pada ketidakadilan. Pada masyarakat yang sangat patriarkal (memperlakukan laki-laki lebih istimewa dari perempuan), gender terlalu sering memperlakukan perempuan sangat tidak adil. Dalam buku "Around the World in 80 Days" Mr. Fogg menyelamatkan seorang perempuan India yang akan dibakar beserta mayat suaminya. Pada waktu itu, perempuan harus dibakar beserta mayat suaminya kalau suaminya meninggal terlebih dahulu namun tidak demikian sebaliknya. Sampai saat inipun di India, perempuan yang akan menikahlah yang akan membayar mahar kepada keluarga laki-laki. Bila mahar tersebut tidak sesuai dengan permintaan keluarga laki-laki, maka seumur hidup si perempuan akan menjadi hinaan bagi keluarga si laki-laki. Hal tersebut dibenarkan menurut adat. Di salah satu negara di Afrika, alat genital perempuan harus dipotong dengan alasan supaya tidak jadi tukang kawin dan tidak kegenitan. Banyak sekali di berbagai belahan dunia ini yang data statistik anak perempuan tidak bersekolah lebih tinggi dari anak laki-laki karena alasan budaya bahwa laki-laki lebih penting dari perempuan. Beberapa kelompok masyarakat membawa-bawa nama Tuhan dengan mengatakan bahwa perempuan tidak boleh menjadi presiden. Mungkin masih segar dalam ingatan kita pada Pemilu Pilpres 2004 terjadi upaya pencekalan terhadap Megawati dengan membawa isu perempuan tidak boleh menjadi presiden. Di dalam sebuah masyarakat, diciptakan bahwa perempuan harus lemah lembut, gemulai, penurut, kalau tidur tidak boleh membelakangi suami, bagiannya di dapur dan lain sebagainya. Perempuan juga diharamkan untuk agresif. Jika menyimpang dari hal-hal tersebut, maka si perempuan dianggap telah melanggar kodratnya sebagai perempuan, demikian sebaliknya jika laki-laki sedikit feminin, maka dia dianggap melawan kodrat, jadi gengsi dan malu besar jika laki-laki menangis misalnya. Itu pulalah salah satu sebab mengapa laki-laki lebih berumur pendek karena ketika mereka berduka atau bersedih, lingkungan sosial secara implisit melarang mereka untuk menangis, padahal menangis adalah baik untuk kesehatan tatkala kita bersedih atau berduka.
Demikianlah gender sesungguhnya merupakan pembiasan kodrat laki-laki dan perempuan. Kita sering memakai istilah "bias gender" atau penyimpangan gender dengan maksud menunjuk pada ketidakadilan gender, namun sejatinya gender itu sendirilah bias atau ketidakadilan itu. Jadi misalnya, jika ada seseorang berkata, "salah laki-laki yang mempunyai istri memasak alias masuk dapur" maka itu tidaklah bias gender tetapi gender yaitu ketidakadilan itu sendiri.
IV. Hegemoni Gender
Di atas telah dikemukakan bahwa masyarakat sudah membedakan laki-laki dan perempuan sejak mereka lahir. Hal tersebut merupakan hegemoni yaitu sudah dicetakkan di kepala kita bahwa misalnya perempuan harus lemah lembut dan gemulai sehingga kita menganggap bahwa perempuan yang tidak gemulai nan lembut melawan kodratnya sebagai perempuan. Hegemoni gender tersebut membuat kita sadar bahwa gender itulah kodrat. Padahal, gender bukanlah kodrat. Gender berlawanan dengan kodrat. Sejatinya kita harus menentang apa yang merupakan gender namun sebaliknya kita sering menganggap gender adalah kodrat sehingga kita membenarkannya.
*) Penulis adalah peminat isu gender

Selasa, 27 Mei 2008

BAB 7 GELOMBANG TERAKHIR

Anderson, Ben. 1995. Imagined Community (translated version). Yogyakarta.

Negara-negara baru pascaperang Dunia II punya watak tersendiri ... . Salah satu cara untuk menggarisbawahi fakta bahwa karakter negara-negara baru ini sejatinya merupakan anak-cucu watak-watak pendahulunya adalah, kita ingat-ingat kembali bahwa sejumlah (sangat) besar bangsa-bangsa (non Eropa) itu memiliki bahasa-bahasa resmi negara yang mengeropa.

Pada gilirannya, adonan yang terdiri dari nasionalisme kerakyatan dengan nasionalisme resmi ini merupakan hasil berbagai penyimpangan (anomali) yang dicipta oleh imperialisme Eropa: batas-batas daerah jajahan yang ditetapkan sewenang-wenang, serta kaum terpelajar dwibahasa yang menjulang gelisah di atas populasi-populaso n\monoglot yang beraneka. Jadi, kita bisa memotret banyak bangsa 'baru' ini sebagai proyek-proyek, yang pencapaiannya masih sedang diupayakan (belum tergapai), toh proyek-proyek ini lebih dicerna dalam semangat Mazzini dan bukannya Uvarov.

Kala kita renungkan asal-muasal 'nasionalisme kolonial' terkini, yang langsung mencolok mata kita adalah satu kemiripan sentral dengan nasionalisme-nasionalisme kolonial terdahulu: isomorfisme atau peleburan antara tiap bentang kewilayahan nasionalisme itu, dengan unit administratif kolonial yang telah lebih dahulu ada. kesamaan ini bukan kebetulan: jelas mnculnya berkaitan dengan geografi semua peziarah kolonial. Perbedaannya terletak pada fakta bahwa lekuk-lekuk

Rabu, 21 Mei 2008

NILAI SOSIOLINGUISTIK

Berikut daftar nilai kuliah Sosiolinguistik.

1. Auwibi Aqdamana (59)
2. Syaifuddin (77)
3. Netti Herawati (73)
4. Anwar Insan S. (74)
5. Muhidin (75)
6. Nina Puji Ariyani (70)
7. Ida Khairiah (75)
8. Dessy Ika Wati (60)
9. Siti Choti’ah (84)
10. Desty Fitri Lestari (60)
11. Lilih Hamiwiti (60)
12. Eka Terina (76)
13. Dewi Sari (85)
14. D. Iim Istikomah (76)
15. Nurali (86)
16. Hilda NH (81)
17. Amsyah Kartika S. (70)
18. Fuad Satria (73)
19. M. Fajar R. (70)
20. Abdur Rahman (77)
21. Rizal Azman (74)
22. Eryandi (73)
23. Rodhi Irwanto (72)

Berikut ini empat (4) tulisan yang harus diperbaiki dan akan dipublikasikan.

1. Perbedaan Bahasa antara Laki-laki dan Perempuan (NURALI)
2. Register (Dewisari)
3. Register, style dan Ideology (Siti Choti'ah)
4. aksen dan Dialek (Hilda Nurul Huda)

Selasa, 20 Mei 2008

NILAI PHONOLOGY

Berikut nama-nama siswa dan nilai mata kuliah Phonology.

1. Auwibi Aqdamana (52)
2. Dian Pertiwi (BL)
3. M. Jujun Sirojudin (30)
4. Berry R. F. S. (33)
5. Rifal Apriadi (50)
6. Siti Musarofah (61.5)
7. Siti Khotijah (80)
8. Iin siti Nurhanifah (83)
9. Nurul Fitriana (81)
10. Nurhalim (53)
11. Ropikah (85)
12. Khamulan Dwi PN (63.5)
13. Emi Purniati (67.5)
14. Dina Rhapsody (55)
15. Erhnik Nurul Pharamita (73)
16. Dena Riani Harlan (74)
17. Nurlinda F. (68)
18. Sri Suhartini (62.5)
19. Mulia Heriawanti (BL)
20. Restiana Rahayu (34)
21. Cahaya Siregar (35)
22. Nurhayati (70)
23. Nurhasanah (82)
24. Siti Rohmah (83)
25. Siti Maemanah (66)
26. Megawati A. (60)
27. Neneng Agustini S. (BL)
28. Tuti Hermawati (60.5)
29. Darmawati (65)
30. Susilowati (72)
31. Masnur (BL)

Selasa, 06 Mei 2008

Learning Strategies

Abstract

This study investigated some aspects of the process of reading of English by Indonesia learner, in particular the role of reading strategies in learners' attempts to understand a text.

The subjects in the research were eight second-year high school students in the natural science stream at SMAN 10 in Bandar Lampung. They were classified as either good or poor readers.

Good and poor readers deal with texts in different ways. The objectives of research were (1) to identify what kind of problems the two groups faced and (2) to identify what reading strategies they used.

Students were presented with an English text and asked to verbalized their thoughts as they tried to understand it -- the so-called 'think-aloud' method commonly used in psychology. Their think-alouds were recorded on tape and transcribed, and then coded for analysis.

The problems faced by good and poor readers were similar in nature. However, poor readers had more problems than good readers. Their reading was slower and their comprehension was impeded by problems with lexis and some grammatical features.

The strategies used by the two groups were similar in many respects. In all, good readers used ten kinds of strategies and poor readers used eight kinds of strategies. An analysis of the types of strategies used, however, suggests that good readers probably use a combination of bottom -up and top-down approaches (an interactive approach), while poor readers tend more on a bottom-up approach.