Senin, 14 April 2008

IDENTITAS dan BAHASA

Kutipan-kutipan di bawah ini merupakan catatan dari berbagai bahan bacaan yang saya gunakan untuk menulis dan memantapkan pemahaman. Dilarang mengutip dari blog ini untuk tulisan Anda, kecuali bila Anda memiliki referensi yang valid.

Bria, Floens Maxi Un. 2001. Introduction to the Wonders of the Canary Island: Mengenal Keajaiban Pulau Kenari. Kupang: Yayasan Parahita Widya Bhakti & Caritas Publishing House.

Spirit dan Filosofi Perekat Pluralisme Masyarakat Pulau Kenari

"Ham abi ing, ham abore, ham ahel, ham ama" (ungkapan etnis Hamap-Moru)
arti: bersama-sama menarik tambang, bersama-sama pula melepasnya. Bersama-sama mengangkat, bersama-sama pula melepasnya.
(h. 64)

'Onong tou Dangga alang, ateng tou wurang tou. Taka tou tenung tou, pekkke tou hanga tou" (etnis Baraler-Baranusa/alores)
arti: sehati saling mendengarkan, sehati-senafas. Makan sepiring dan minum dari satu pinggan. Satu Pelukan-satu jangkauan.
(h.65)

"Teing doling lelu khala waisang" (bahsa Lamma-Pantar)
makna: duduk bersama untuk berbicara adat. bukan sekedar formalitas belaka, tetapi untuk mencapai mufakat dan mengambil keputusan tertentu secara bersama untuk dilaksanakan.
(h. 65)

Katubi (ed.). 2004. Bahasa dan Kebudayaan Hamap: Kelompok Minoritas di Alor. Jakarta: PMB-LIPI.

BAB 1. PENDAHULUAN

Kriteria subjektif dan objektif dalam pengklasifikasian minoritas menurut Riagain & Shuibhine (1997: 13):
a. kriteria objektif melibatkan: (1) adanya ciri pembeda, seperti pemakaian bahasa yang berbeda; (2) ukuran jumlah kelompok; (3) keberadaan posisi nondominan berkaitan dengan keseluruhan populasi, dan (4) syarat bahwa anggota dari kelompok minoritas menjadi warga negara yang dibicarakan.
b. Kriteria subjektif melibatkan: keinginan dari kelompok minoritas itu sendiri untuk mempertahankan ciri pembedaan mereka. solidaritas implisit diperlukan dalam konteks ini.

Hal lain yang perlu dipikirkan ialah kemungkinan pemerintahan yang opresif, yang juga terjadi pada kebijakan bahasanya.
(h.2)

Karena orang Hamap mendapatkan "serangan" dari luar kelompok secara implisir, tanda-tanda bahasa sebagai pembeda dapat menjadi lebih penting dan karen aitu dibela mati-matian oleh orang hamap. Pada bagian ini, mereka sudah bermain pada tataran identitas kelompok melalui bahasa, termasuk melalui mitos karena mitos merupakan jenis ujaran (Barhtes 1993:109). bahasa menjadi atribut penting bagi mereka sebagai alat yang ideal untuk memfasilitasi kekohesifan antaranggota kelompok. karena itu, tidaklah mengejutkan jika akhirnya isu-isu kebahasaaan di kelurahan Moru menjadi titik awal konflik antarkelompok secara tidak langsung melalui klaim asal usul kelompok dan bahasanya yang tercermin dalam mitos. Di sini mitos meruakan ujaran yang di depolitisasi (Barthes 1993:143)
(h.6-7)

Bahasa bukanlah sekedar fakta linguistik murni, melainkan juga fakta sosial dan politik. karena itu, dalam banyak hal, bahasa merupakan hal yang esensial dari keanggotaan kelompok etnik. dalam beberapa hal lain, dan khususnya yang melibatkan bahasa dan bukan ragam bahasa, ciri-ciri kebahasaan dapat menjadi kriteria pembatas yang paling penting utnuk keanggotaan kelompok. .... Karena itulah, identitas sebagai salah satu unsur motif falam perencanaan bahasa perlu dicermati.
(h.8-9)

Fishman (1991) mengidentifikasi beberapa dimensi untuk mengukur interpenetrasi bahasa dan kebudayaan dalam rangka menentukan hilangnya vitalitas etnolinguistik:
(1) perbedaan antara berbicara, membaca dan menulis
(2) hubungan antara sikap dan kemauan, kompetensi dan performasi, dan
(3) deskripsi konteks sosiokultural dan hubungan peran dalam pemakaian bahasa
(h.10)

faktor-faktor penting yang diidentifikasi Fishman berkaitan dengan pergeseran bahasa ialah:
(1) fisik dan demografik; kepindahan populasi secara paksa atau sukarela dengan sebab penindasan ataupun alam/keadaan ekonomi yang tidak bersahabat.
(2) sosial; ketidak seimbangan yang dialami oleh anggota kelompok minoritas etnolinguistik yang seringkali tidak diuntungkan berkaitan dengan peluang pendidikan dan ekonomi,
(3) dislokasi kebudayaan: moderenisasi dan demokrasi
(h.10-11)

Semua faktor itu bekerja sama dalam berbagai cara untuk menggerogoti atas-batas kelompok minoritas dan membuatnya terbawa arus ke arah pergeseran.

BAB 3. PLURALISME BAHASA DI ALOR

Temuan-temuan peneliti sebelumnya:
a. Stokhof (1975). ...bukti untuk hipostesis mengenai hubungan genetis antara bahasa-bahasa yang dipakai di kepulauan Alor-Pnatar, antra bahasa-bahasa Alor-Pantar dan beberapa bahasa di Pulau Tiomor (sekarang negara Timor Lorosae) , dan di antra bahasa Alor-Pantar dengan bahasa Jazirah Papua (kepala burung), yaitu bahsa-bahasa Pasar Baru, Purangu, Konda, dan Yahadian.
... ditemukan 13 bahasa (bahasa austronesia (bahasa Alor) dan nonaustronesia)
(h.54)
b. Wakidi dkk. (1984). 13 bahasa, reartikulasi temuan Stokhof.
(h54)
c. SIL (2000). Ada 18 bahasa di kepulauan Alor: Alor, Nadebang, Reta, Blagar, Adang, Kabola, Hamap, Wersing, Abui, Kamang, Kula, Sawila, Kui, Kafoa, Kelon, Tereweng, Tewa, dan Lamma.
(h.55)
d. Dinas Kebudayaan NTT (wawancara pribadi, 2004). Ada 15 bahasa: Lamma, Nedebang, Deing, Blagar, Tewu, Klon, Tuntuli, Adang, Kemang, Werang, Tanglapui, Alor, Bajo, Autan, dan Kabola.
(h.55)

Temuan penelitian tahun 2004 dalam subjudul: Hamap: Sebuah Bahasa atau Dialek?


... . Biasanya dengan singkat saya jawab bahwa saya belajar bahasa Hamap. Jawaban spontan mereka biasanya ialan: "Oh .. itu sama dengan bahasa Adang!" Komentar yang saya dengar selalu begitu dan hampir saya percaya bahwa bahasa Hamap merupakan dialek bahasa Adang. (h.57)

Namun ketika hal tersebut dikonfirmasi kepada para tetua orang Hamap, mereka akan dengan tegas manyatakan bahwa bahasa Hamap bukanlah bahasa Adang. Bahasa Hamap juga bukan merupakan bagian dari bahasa Adang. Hal itu bisa dimengerti karena bahasa bukanlah sekedar fakta linguistik murni. Ketika bahasa digunakan untuk berkomunikasi,bahasa bukanlah sekadar lambang-lambang bunyi. Bahasa bukanlah sekedar sistem tanda; bahasa juga merupakan praktik sosial, bahkan politik. Di dalamnya terkandung subjek penutur yang ingin menunjukkan siapa dirinya sebagai pengguna bahasa. Konsep ini digunakan oleh subjek penutur untuk mengidentifikasi dirinya sebagai anggota kelompok etnis tertentu. (h.57)

"Samakah sebenarnya bahasa Hamap dengan bahasa Adang berdasarkan fakta linguistik murni? ataukah bahasa Hamap hanya sebagai dialek dari bahasa Adang? Meskipun fakta sosial menampik anggapan bahwa bahasa Hamap sama dengan bahasa Adang, belum tentu hal tersebut terdukung oleh kajian fakta linguistik murni." (h.57-8)

data yang digunakan: Monografi Kosakata Dasar Swadesh du Kabupaten Alor (2000). Berdasarkan date tersebut, dilakukan uji leksikostatistik.

... . Begitu pun bahasa Adang (14) dan Hamap (17). Kedua bahasa itu memiliki kosakata kognat yang lebih banyak daripada bahasa-bahasa lain di alor. Presentase kesamaan kosakata dasar bahasa Adang dan Hamap sebesar 76%. (h. 60)

Berdasarka uraian di atas, jelaslah bahwa secara teoretis bahasa Hamap merupakan satu bahasa tersendiri. Bahasa Adang bukan dialek dari bahasa lain. Akan tetapi, bahasa Hamap tidak berdiri sendiri. Bahasa Hamap merupakan anggota keluarga bahasa Hamap-Adang kerena tingginya kesamaan kosakata dasar antara bahasa Hamap dan Adang, yaitu sebesar 76%. (h.62)

BAB 4. MITOLOGI SEBAGAI INDIKASI LEGITIMASI IDENTITAS

Penelitian mengenai mitologi di Alor bertujuan untuk mendapatkan penjelasan munculnya pluralitas etnik, bahasa, dan kebudayaan.

Ada dua mitologi yang terkumpul, yaitu mitologi tentang migrasi orang Hamap ke Moraman yang berhubungan pula dengan Dewa tertinggi orang Hamap dan mitologi tentang asal-usul suku dan pembagian kerja yang ada di antara orang Hamap. Hal ini dapat pula dibaca sebagai persebaran orang Hamap di Alor beserta kerabat mereka. (h. 65)

Mitologi adalah sesuatu yang sakral, yang menghubungkan realitas dengan alam supernatural.





Tidak ada komentar: